Laman

Kamis, 10 Februari 2011

Pendidikan multikulturalisme

John Naisbitt dalam judul bukunya Global Paradox (1994) berpandangan dalam era globalisasi telah terjadi kecenderungan paradoksal.Salah satunya dengan derasnya trend ke arah terbentuknya kota buana (global city) akibat dari kemajuan teknologi transformasi dan informatika. Namun sisi lainnya,masyarakat modern semakin merindukan nilai-nilai dan gaya promordial,terutama pada romantisme etnis.Bahkan Naisbitt menyerukan trend ini telah begitu mengeras sehingga menjelma bagaikan virus tribalisme.Ramalam ini perlu kita wapadai dalam konteks sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai macam latar belakang etnik,agama,ras, budaya dan bahasa yang menyimpan bahaya
laten konflik harizontal.Kerap kali bentrokan dengan nada egoisme kelompok ternyata menyimpan api dalam sekam dalam perjalanan kita sebagai bangsa.

Sebut saja fenomena masyarakat kita yang semakin rapuh terhadap nilai-nilai penghormatan terhadap keberagaman.Bahkan logika yang dibangun lebih ke arah tirani mayoritas terhadap minoritas.Padahal,seperti yang kita baca dalam kitab sejarah,proses membangsa menjadi Indonesia yang merdeka dan berdaulat merupakan hasil jerih payah dan sumbangsih setiap warna beragam yang menjadi satu. Warna merah, putih, hitam, hijau, biru kuning, ungu menjelma dalam bingkai rumah Indonesia dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.Semua warna berpadu secara harmonis,tidak ada warna yang mencoba mendominasi atau menegaskan klaim kultural,sejarah maupun politik atas warna lainnya.Dari awal,Indonesia tidak dimaksudkan lahir hanya untuk satu golongan,melainkan bagi setiap kepala tanpa membedakan asal usulnya.Dengan arti lain,menjadi Indonesia,hidup berdampingan tanpa saling meniadakan yang lain.

Logika persatuan dalam keberagaman seperti itulah yang akhir-akhir ini mendapat terpaan dan ancaman yang harus diantisipasi. Di satu sisi,multibudaya menjadi sumber perekat keragaman etnis,tetapi secara bersamaan keberagaman ini juga merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu manifest saat semangat primordialisme tidak mampu dikelola dan dikendalikan secara bijaksana. Maraknya konflik yang berbau SARA sekaligus menelanjangi dan membuat kita menggantungkan tanya,kemana arah perjalanan kita sebagai bangsa yang majemuk ?.

Pemaknaan atas realitas masih lemahnya pemahaman kita dalam membina hubungan harmonis antar sesama,membuat pendidikan sebagai alat untuk penamanan nilai-nilai yang diharapkan dapat membentuk perilaku yang diharapkan mencuat sebagai jalan keluar.Wacana pendidikan multikultur yang diharapkan dapat menjembatani hal ini memang layak kita kaji secara kritis.
Calarry Sada dengan mengutip tulisan Sleeter dan Grant (Sada,2004: 85),menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki empat makna (model), yakni,(1) pengajaran tentang keragaman budaya sebuah pendekatan asimilasi kultural,(2) pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata hubungan sosial,(3) pengajaran untuk memajukan pluralisme tanpa membedakan strata sosial dalam masyarakat, dan (4) pengajaran tentang refleksi keragaman untuk meningkatkan pluralisme dan kesamaan.Tujuannya adalah agar setiap orang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak sama bagi etnik minoritas, dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia international.

Pendidikan multikultur ini dalam tataran implementasi memang butuh proses yang melembagakan perilaku dalam diri seseorang.Will Kymlicka (Kymlicka,2000: ix),yang mencoba mendeskripsikan Multicultural Citizenship,maka materi-materi yang seharusnya dihantarkan dalam pendidikan multikulural adalah tentang hak-hak individual dan hak-hak kolektif dari setiap anggota masyarakat,kebebasan individual dan budaya,yakni bahwa setiap individu termasuk dari etnik minoritas memiliki kebebasan untuk berkreasi,berkarya bahkan untuk mengembangkan dan memajukan budayanya, tentang keadilan dan hak-hak minoritas, jaminan minoritas untuk bisa berbicara dan keterwakilan aspirasinya dalam struktur pemerintahan atau legislatif,toleransi dan batas-batasnya.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas secara mendetail tentang konsep pendidikan multikultur.Melainkan sebagai stimulus atau rangsangan untuk institusi pendidikan menerapkan dalam kurikulum pembelajaran.Apakah nanti formatnya dalam mata pelajaran khusus,atau diperdalam dalam mata pelajaran kewarganegaraan.Pemahaman berbangsa dalam bingkai keragaman harus kita pandang sebagai sebuah prioritas di tengah arus ancaman semakin kuatnya egoisme kelompok.Indonesia tidak ingin bernasib seperti negara Uni Soviet yang terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil.Indonesia ingin mejadi miniatur dunia sebagai negara pelopor multikulturalisme.Semboyan “berbeda-beda tetapi tetap satu jua” akan terus membahana dalam jiwa.Seperti itulah Indonesia yang kita cita-citakan

Tidak ada komentar: